Sultan Hamid II yang terlahir dengan nama ‘
Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak, S
ultan Syarif Muhammad Alkadrie.
Beliau lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 – meninggal
di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun dan dimakamkan di pemakaman
Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Sultan Hamid II adalah
Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam tubuhnya
mengalir darah Arab-Indonesia — walau pernah diurus ibu asuh
berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang
kemudian melahirkan dua anak yang keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan
Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian
KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada
kesatuan tentara Hindia Belanda. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi
Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak
menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Sultan Hamid II
kemudian memperoleh jabatan
Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden,
yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda
dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam
kemiliteran.
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi
Menteri Negara Zonder Porto Folio
dan selama jabatan menteri negara itu ia ditugaskan Presiden Soekarno
merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.Tanggal 10
Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara
di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II
dengan susunan panitia teknis
Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan
RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk
keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk
melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono
melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik,
yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya
yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya
M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan
menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan
Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta,
terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi
kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang
semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan
semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Pada
tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat
Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno.
Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai
Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar
burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan
dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang
telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga
tercipta bentuk Rajawali – Garuda Pancasila dan disingkat Garuda
Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut
kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan
Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang
negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam
Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda
Pancasila masih “gundul” dan “’tidak berjambul”’ seperti bentuk
sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai
aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid
II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk
pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des
Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan
kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali
Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk
cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang
menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden
Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara
yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang
kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali
rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS
Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk
terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk
final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan
tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan
kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974.
Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto
gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal
Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974)
sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara,
disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang
merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa
hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar
negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila
divisualisasikan dalam lambang negara.
(Sumber)